Postcard Waerebo bab 6

2 Jun 2016 16:30 16066 Hits 270 Comments Approved by Plimbi
keberanian diungkapkan oleh salah satu dari Alex, San, Tom, Noel, dan Stefan. Cura yg menjadi simbul penting di berikan ke Ayu. siapakah ia.., Apakah Ayu menerimanya??

Postcard Waerebo

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut :

Postcard Waerebo Bab 1
Postcard Waerebo Bab 2
Postcard Waerebo Bab 3
Postcard Waerebo Bab 4
Postcard Waerebo Bab 5

 

 

 

BAB 6

Aku baru saja membuka mata dan masih malas bangun, “Good morning..” Alex menyapaku.

San menarik selimutku. “Bangun…!” Anak-anak sudah memanggilmu. Aku duduk disebelah San dan Alex masih mengenakan selimut dan kaos kaki.

Aroma wangi kopi sudah membuatku kepayang, akupun menyruput kopi panas milik San. Aku tak peduli dengan rambutku yang awut-awutan, Cukup pulas tidurku semalaman, dan tak ingat lagi aku mimpi apa. Hanya kadang terbangun, karena  San sudah lumayan mengganggu gelisah semalamku. Aku tahu yang berkaitan dengan hormone testosterone dan segala resiko kepuasan batin, kalau aku bersama San. Untuk kepuasan materi pasti juga aku pertimbangkan, tidak perlu munafik. Aku juga kurang sreg kalau sudah tidak dapat kepuasan batin ditambah juga tidak dapat kepuasan materi.  Kasihan hatiku kalau terlalu remuk. Tapi, San sudah sangat lebih cukup untuk materi.

“You look fresh. Hope you have a nice dreamed.” Kata Noel.

“Sure, aku ngimpi dicokot ulo, ulone ono limo. Mari nyokot aku ulone malah mati kabeh...” Jawabku santai, San terbahak, baru menstranslate ke sahabat-sahabatnya.

Lalu, San mengajari Alex untuk menjawabku juga dengan bahasa jawa, “Soale…. Sing… dicokot… mbahne…. Ulo…” Jawab Alex menirukan San. Tawa kami sudah berderai menyambut pagi.

Pikiranku memang lumayan segar, tak perlu caper merasa galau tentang apapun, toh aku tinggal memilih, dan semua materi didepanku bagus. Soal “ULO” piaraan masing-masing,  aku tak berani bicara, tak enak kalau nanti salah menyebut model dan ukuran. Aku segera menyiapkan handuk dan perlengkapan mandi. Suara anak-anak kembali sudah memanggilku. Hari ini kami akan berurusan dengan kesehatan anak-anak, dan membantu persiapan Penti.

“Do you want shower with me?” Aku menggoda San, Alek, Stefan, Noel dan Tom

“Sure.” Jawab San sambil berdiri mengikutiku disusul yang lain.

Rumput di lapangan masih basah oleh embun. Kabut yang menutup bukit perlahan mulai terangkat, membuka tirai alam dengan beragam kehidupan serta keindahan di dalamnya. Langit biru beserta saputan awan tipis. Matahari pagi memantul dari bukit, memberi keelokan warna semburat ungu dan merah muda. Cakrawala pagi sengaja memamerkan hasil karya tanpa bingkai. Tujuh rumah Mbaru Niang dari Wunut berwarna abu-abu tua, megah diantara cakrawala. Jendela -jendela kecil di bagian atas rumah Niang sudah menyembulkan asap dari dapur. Namun, udara dingin masih enggan untuk pergi.

Masyarakat sudah gempita memulai harinya. Tak ketinggalan anak-anak membantu orangtuanya dengan wajah ceria. Menyapu halaman rumah  Niang, mengasuh adiknya, membantu mengambil air, mencuci piring, atau sekedar berlarian bermain dengan teman lainnya. Kami menengok mama yang baru mengalami keguguran kemarin, Tom dan Alex memeriksa perkembangan sang mama serta memberikan obat.

San, Alex, Stefan, Noel, dan Tom mengambil alih pekerjaan mama-mama yang sedang menumbuk kopi. Kami lalu mengangkat lumpang tempat menumbuk kopi, dan lima lumpang posisinya menjadi sejajar. Aku memberi aba-aba pada mereka berlima, kapan harus mengangkat alu nya.

“Mulai, so! Satu.. dua.. tiga..!” Teriakku. Mama-mama yang menyaksikan kelakuan kami pun tak tahan untuk tak terlibat. Mama-mama langsung membawa kendang kecil-kecil dan kenong. Aku kaget, karena mama-mama lihai memainkan alat music yang dibawanya. Alat music yang akan mereka mainkan hanya pada saat-saat tertentu.

Berpadu dengan suara tumbukan kopi, jadilah music yang keren pagi itu. Aku menari serta berputar diantara kelimanya diikuti bocah-bocah dibelakangku. Warga menjadi gembira dan tak sengaja menjadi kumpulan banyak orang. Aroma kopi Arabika, makin harum dan kuat.

“Kakak Ayu, itu keringat mereka mulai menetes. Kasih mereka handuk, so!” Kata seorang bapak. Dengan sukarela, aku basuh keringat mereka satu persatu menggunakan handukku. Teriakan dan tepukan warga tak terkendali lagi. Sementara anak-anak kecil berbaris mengular dibelakangku ikut berjoget bersama suara music yang makin gempita.

“Kopi yang ini harus diseduh dengan air pancuran dari gunung Ponto Nao,so!”  Teriak seorang bapak. “Supaya nikmatnya Arabika Wae Rebo tak tertandingi.” Sambung seorang bapak.

“Air nya sendiri harus diambil oleh perawan bernama Ayu, bapak.” Teriakku santai. San tak kuasa untuk menahan tawa. Alex, Tom, Noel, dan Stefan, ikut terbahak setelah ditranslate oleh San.

“Yes, you are right! Then Arabika coffee Wae Rebo will have great taste.” Noel menimpali sambil memegang biji sangrai Arabika lalu mengunyahnya.

Karena aroma keringat sudah melebihi aroma kopi, kami kembali menyerahkan tumbukan kopi pada mama-mama dan  berlomba lari bersama anak-anak menuju pancuran air. Noel, memulai dulu permainan lempar sabun batangan sambil berlari. Noel dan Alex sangat lihai menangkap lemparan diantara kami. Dan baakkk… kena Mr. P. punya Tom ketika aku melempar sabun kearahnya. Entah aku sengaja atau tidak, aku juga lupa. Anak-anak malah tertawa girang.

“Im sorry, Tom..” Aku meminta maaf sekaligus menggoda.

“It’s ok, no need to apologize. I know you are naughty..” Kata Tom sambil memegangi barang yang menurutnya punya ukuran ideal. Kali ini, San, Alex, Noel, Tom, dan Stefan, langsung berlari menuju pancuran kaum Adam bersama anak laki-laki lainnya.

*****

Usai mandi, kami bertemu dengan tetua adat, meminta ijin untuk memeriksa kesehatan anak-anak dan warga. Dengan segala keterbukaannya, tetua adat memberikan ijin pada kami. Didepan rumah Gendang, Tom dan Alex, sudah menyiapkan alat-alat kesehatan, plus menyerahkan obat-obatan yang sudah dikirim Anom. Aku dan San membantu memberi penjelasan pada seluruh warga tentang ingus harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Itu pun masih dibagi lagi menjadi ingus kering dan ingus basah.

Alex dan Tom tampak memberi pelayanan dengan ramah. Sesekali berdua akan teriak pada San atau ke aku untuk menjelaskan ke warga jika ada kesulitan bahasa. Selain ingus, telinga kotor juga menjadi salah satu perhatian penting Alex dan Tom. Tanpa bicara apapun, Alex memberiku segebok cotton but, sambil tersenyum lebar. Aku hanya berharap, mudah-mudahan tidak ada congek anak-anak yang mengeras, sehingga aku harus turun tangan. Aku mengajak anak-anak yang sudah diperiksa untuk berbaris dan duduk ditempat teduh. Aku bagikan masing-masing empat cotton but.

San dan Stefan bertugas memberi contoh bagaimana menggunakan cotton but. Awalnya mereka tertawa antara malu dan mau. Lama kelamaan, semua anak-anak bahkan beberapa orangtua mulai diam merasakan geli-geli nikmat ditelinganya, sambil melek merem. Tak ada suara apapun dari anak-anak kecuali cekikikan sendiri karena rasa mewah lewat telinga.

“Lupa anak-anak dengan bolanya, ternyata ada mainan yang lebih enak…” Kataku San kepadaku.

“Kamu lihat Casianus, sampai mulutnya menganga terus dari tadi.” Aku berkomentar pad a San

“Kakak! Pembersih teling Febrianus tertinggal ditelinganya!” Maria berteriak. Aku menuju kearah Febrianus.

“Aahh… kau…! Ini memang sengaja aku tinggal disini, so!” Febrianus setengah marah pada Maria. Aku juga bingung memandang Febrianus. “Aku sengaja taruh didalam agak lama, karena masih enak, kakak..!” Febrianus menjelaskan.

“Boleh, tapi jangan lama-lama, so…!” Pesanku ke Febrianus. “Cukup tiga menit saja, lalu kau keluarkan!” Pesanku lagi pada Febrianus. Febrianus girang mendapat tambahan waktu untuk merasakan geli-geli. Tak ayal, anak-anak yang lain ikut semua meletakkan satu cotton but di telinga kanan mereka, karena Febrianus mengawali di telinga kanan.

“Jangan di telinga kiri, so..! rasanya tidak ada…” Kata Catharina pada Maria.

“Ahh… enak sekali, ternyata…” Catharina berkomentar sambil memejamkan mata.

“Untung ada yang menciptakan cotton but, jadi setiap lubang punya kenikmatan yang beda rasa.” Kata San memperhatikan Catharina tak berkedip sambil tersenyum. Aku melirik San menahan senyum.

“Rasa.., itu tinggal bagaimana cara mensyukurinya. Bukan tergantung pada lubang dan apa yang dimasukkan. Katanya teori seperti itu…” Aku mencoba memancing reaksi San. San tersenyum simpul kepadaku.

Setelah cukup, San dan Stefan meminta anak-anak memasukkan cotton but yang sudah terpakai kedalam kantong plastic. Lalu membakarnya. Tak perlu aku jelaskan berapa banyak jumlah kotoran telinga yang kami dapatkan. Yang penting anak-anak sudah bisa membedakan rasanya telinga bersih dan telinga kotor.

“Aku pindahin obat-obatan dulu. Kamu minumin anak-anak obat flu, sekalian bersihkan ingusnya, ya…” Kata San memintaku.

“Okay…” Jawabku. San melempar segebok tissue buat ingus, sambil melangkah kearah  Stefan, dan Noel. Bertiga mulai mendata obat-obatan dan memindahkan ketempat yg sudah disiapkan.

Satu persatu, aku bersihkan hidung anak-anak yang berisi ingus kedaluwarsa. Mama-mama membantu membasuh hidung anak-anak dengan air hangat yang sudah mereka siapkan.

“Kalau kakak bersihkan semua ingus kita, nanti hidung kita hilang, so..!” Kata Trivon. “Febrianus bilang kalau ingus itu berfungsi sebagai perekat buat supaya hidung kita menempel diwajah..” Sambung Trivon lagi.

“Aahh… pantas hidung kau lubangnya besar sebelah..! karena lemnya sudah tidak lengket lagi..! ini lemnya sudah busuk, so…! Jawabku sambil mengeluarkan ingus Trivon dengan tisu yang tebal.  

“Febrianus! Ternyata yang bikin hidung kita bau tidak enak karena lemnya sudah busuk, so!” Teriak Trivon pada Febrianus.

Usai pengumpulan congek dan ingus, anak-anak merubung Ester tiga tahun yang sedang kami pasang handsaplast penurun panas dikeningnya.

“Kakak, bolehkah kita juga minta tempelan di kepala itu?” Tanya Will

“Ini obat untuk menurunkan panas, so… kalau kalian tidak panas, tidak usah pakai obat ini..!” Jawab San

“Kalau begitu, bagaimana supaya kita panas..?!” Tanya Maria lugu sambil memegangi handsaplast di jidat Ester. Aku dan San diam sejenak memandang mereka yang ingin memakai handsaplast.

“Kau pegang saja itu hansaplast di jidat Ester, siapa tahu panasnya pindah ke kalian.” Jawabku santai.

Catharina memandangku, “Aahh… nanti Ester sembuh, kita jadi yang panas badannya, so..?!” Tanya Catarina bingung sendiri. aku diamkan saja, karena kalau aku jelaskan panjang lebar pun, mereka akan tetap minta handsaplast.

“Kakak jangan marah, so…! Kita tidak minta hansaplast lagi… !” Kata Catharina. Aku tersenyum mengelus kepalanya. “Kakak Tom, curi pandang  sama kakak terus dari tadi.” Catharina berbisik. Aku menahan tawa sambil geleng-geleng kepala melihat Catharina.

“Berikan tissue ini buat kakak Tom dan kakak Alex, buat basuh keringatnya..” Aku berbisik ke Catharina. Cahatrina tertawa senang, sambil berlari kearah Alex dan Tom yang masih memeriksa sebagian anak-anak.

Tak lama Tom dan Alex melihatku, “Thank you, sweetness..” Teriak Tom. Aku melambaikan tangan kearah Tom dan Alex.

Tiba-tiba willhelminus, datang dengan jari terluka karena tergores bamboo tajam. Aku memberinya handsaplast, “Boleh dipegang, tapi jangan dijilatin...” Aku berpesan, bersamaan saat Will akan menjilati hansaplast yang sudah melingkar dijarinya. Ia pun tersenyum manis, membatalkan niatnya.

“Kakak kasih vitamin buat kamu, supaya kau tidak jilat-jilat.” Kataku pada Wll. “Cara makannya seperti makan permen.” Sambungku sambil memberikan vitamin rasa strawberry di mulut Will.

“Terimakasih, kakak..” Kata Will. “Kita minum vitamin biar sehat kah?” Tanya Will. “Kalau nanti sehat, kita bisa bersekolah di Labuan Bajo, so!” Sambung Will lagi. Aku menatap Will.

“Kalau Will besar, ingin jadi apa kah?” Tanyaku.

“Aku ingin jadi guru kakak. Supaya semua orang disini bisa baca, so..” Jawab Willhelminus.

Aku diam sejenak, menarik nafas panjang, “Kau tidak boleh menyerah atau putus asa, ya.., supaya kau bisa bersekolah di Labuan Bajo. Kau pasti bisa jadi guru yang baik dan hebat.”  Aku menatap matanya yang polos. Mata yang tajam karena keinginan yang kuat. Will juga mengangguk memandangku, aku hanya berharap Will tidak pernah menyerah untuk belajar dan bersekolah.

“Kau pintar, Will.. kau harus bisa..” Aku memberi semangat. Will kembali tersenyum manis dan lugu, saat dia hendak berbalik badan dan berlari, aku meraih tangannya yang kurus serta kecil. “Cium pipi kakak, dulu..” Aku menggodanya sambil aku membungkuk. Will mencium pipiku dengan segala kegembiraan. “Simpan vitamin ini buat kamu, dan makan hanya satu hari sekali.” Aku memberi hadiah sebotol vitamin pada Will.

“Bolehkah vitaminnya aku simpan didalam celana, kakak?” Tamya Will polos sekaligus ingin menyembunyikan vitamin dari teman-temannya..

“Aduuhhh… nanti vitaminnya bau pantat, kau!” Jawabku.

“Tidak apa-apa, kakak… biar pantat aku juga tidak gatal-gatal lagi, so..!” Jawab Will masih polos. Aku hanya tersenyum, tak tahu harus mendebat apa. Akhirnya aku biarkan Will memasukkan vitamin dibotol kecil itu kedalam celananya bagian depan yang kolonya juga mau copot. Lalu, Willhelminus tos denganku dan menghilang diantara teman-temannya.

Posisiku masih jongkok diatas rumput, bertumpu pada satu lutut, saat tiba-tiba San dan Tom sudah berada dibelakangku, “AAwwww…” San dan Tom mengagetkanku.

San mengulurkan tangan kanannya, membantuku berdiri. Tiba-tiba ia menyodorkan kain tenun Cura lengkap, sarung dan selendangnya  yang dilipat rapi kepadaku. Aku tentu saja pura-pura kebingungan dulu dengan maksud San, walaupun aku sudah bisa membaca maksudnya. Aku baru menyadari kalau bapak-bapak dan mama-mama sudah memperhatikan kami.

“Ambil, kakak Ayu…” Kata seorang bapak.

“He is the best for you.” Tom menambahkan. Hatiku runtuh, aku berusaha mengendalikan pikiranku. Sekali lagi, ini menyangkut komitmen kepuasan batin dalam waktu jangka panjang. Aku belum bisa seratus persen yakin bisa menjalani. Namun, sisi hatiku yang paling kecil mendorongku untuk menerima Kae San, karena aku memang sudah tertarik dengan San. Kunthi saja bisa melahirkan Karna lewat telinga, mestinya waktu terjadi pembuahan, bisa jadi juga lewat telinga. Who knows. Sangat dalam, San menatapku menembus bagian terdalam hingga tulangku-tulangku kena. Bahkan saat itu kalau memungkinkan, pakaian dalamku ikut lepas semua.

“Ini hanya soal keberanian dan komitmen.” Kata San tegas seperti menghentak telingaku.

“Jangan pernah janji kalau tak bisa menepati..” Aku berbisik pada San sambil mendekat sedikit.

“Saat ini, itu janjiku yang terbaik.” Jawab San. Aku tersenyum pada San dan menerima tenun darinya yang dikhususkan untukku.  Aku tahu, Alex, Tom, Noel, dan Stefan, pasti sudah membicarakan hal ini. Tidak perlu mencari tahu siapa yang mengalah dan merasa hebat karena sudah rela mengalah.

Serentak, bunyi alat musikpun kembali bertalu dimainkan oleh mama-mama dan bapak-bapak, “Aaawwwww… terimakasih, mama..!”Teriakku.  kali ini yang ambil bagian joget adalah Tom, Alex, Noel, dan Stefan. Sementara tiga orang mama menarikku dari keramaian, membawa aku ke salah satu rumah gendang, lalu memakaikan sarung dari San. Aku tak perlu menolak, sebaliknya aku menghormati mereka.

“Kain tenun ini yang terbagus yang kita punya sejak enam bulan terakhir, kakak.” Kata seorang mama sambil melilitkan kain sarung tenun ke pinggangku.

“Untung kita masih punya yang terbaik buat kakak San.” Sambung seorang mama lagi sambil mengikat pinggangku dengan tali raffia.

“Tenun ini punya arti yang besar…artinya kakak Ayu dan kakak San sudah dewasa, so..” Sambung mama terlihat bahagia sambil mengalungkan selendang tenun keleherku.

“Kakak sudah cantik, ayo keluar, biar kakak San melihat..” Kata mama. Aku keluar rumah niang, menuruni tangga, sementara berlima sudah asyik bermain bola dengan anak-anak.

“Awwww… “ Teriak San, Alex, Stefan, Noel, dan Tom, saat aku menuruni tangga keluar dari ruah niang. Adegan photos elegant layaknya pra wedding tapi tanpa bersentuhan langsung kami gelar. 

San medekatiku, sementara tetua adat hanya tersenyum bijak melihat kami dari kejauhan. Teriakan bapak-bapak dan mama-mama terlihat bahagia. “You are beautiful” Kata San menggodaku sambil masih mengempit bola di lengannya. “Simpan setelah sampai Denpasar, ya…” Kata San yang tidak bisa menyentuhku, karena aturan adat tetap harus dijaga.

“Kelamaan, sampai Labuan Bajo aja, aku sudah berdebar-debar..” Jawabku santai. Ingin aku terbang ke mama, Anom dan Kuro, kalau aku akan pulang membawa Kae.

Tiba-tiba Will berlari dan berhenti didepanku. Aku melihat vitamin dalam botol masih gondal-gandul didalam celana Willhelminus karena keberatan beban. Will tersenyum melihatku, “Kakak suka pakai kain dari kita?” Tanya Will

“Tentu saja kakak sangat suka, so..!” Jawabku.

“Terimakasih.. itu mama Will yang buat tenunnya…” Kata Will bersuka.

“Aaawww… sampaikan terimakasih pada mama, ya…” Pesanku. Will mengangguk lalu hendak berlari lagi, tapi vitaminnya jatuh dari celana. Aku dan San tidak tahan lagi menahan tawa. San segera mengambilnya, lalu memberi kerlingan mata pada Will. Will tersenyum tanda percaya pada San akan menyimpan vitamin untuknya,  karena anak-anak lain sudah berdatangan.

Cura, menjadi nama khas tenun hasil karya mama-mama dari Waerebo, coraknya cerah, dan elegant. Warna kuning, merah, orange, dan hitam, banyak mendominasi cura. Mama-mama biasanya menenun di kolong salah satu rumah mbaru niang, sehingga wisatawan yang datang bisa langsung melihatnya. Menggunakan alat tenun sederhana, mama-mama disini semua harus bisa menenun. Mereka akan fokus, mencari inspirasi, untuk menghasikan karya tenun terbaik. Masyarakat akan mengenakan kain tenun untuk mengikuti seluruh rankaian acara adat yang penting. Termasuk diterimanya pinangan laki-laki, setelah dia membawa tenun terbaiknya untuk calon mempelai. Cura, cukup membantu masyarakat dalam hal ekonomi, dengan menjualnya pada tamu-tamu yang datang, selain juga kopi.

“Kita giring saja kakak ayu keliling lapangan, so…” Febrianus mulai iseng. Bersamaan kabut sudah turun lagi, awan mulai menutup matahari. Alex, Tom, Stefan, dan Noel, juga sudah siap membantu pekerjaan lainnya untuk persiapan Penti esok hari.

“Kita keliling lapangannya besok saja, ya…?!” San menjawab tantangan Febrianus. Karena persiapan upacara Penti semua harus siap turun untuk saling membantu. Aku tentu saja sedang punya semangat lebih dari empat lima. Karena ada Kae San.

*****

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel