Postcard Waerebo bab 5

28 May 2016 19:34 18883 Hits 326 Comments Approved by Plimbi
Cerita malam menyisakan sebuah kisah panjang dari masing-masing tokoh... siapa yang akan dipilih Ayu...?

Postcard Waerebo

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut :

Postcard Waerebo Bab 1
Postcard Waerebo Bab 2
Postcard Waerebo Bab 3
Postcard Waerebo Bab 4

 

 

 

BAB 5

Kabut putih sudah datang menutup segala penjuru kampung Wae Rebo. Hawa dingin kian memeluk erat, anak-anak sudah masuk rumah dan menghangatkan badan di depan tungku. Lampu-lampu dalam rumah yang jumlahnya sangat terbatas, mulai menyala seiring turunnya malam. Jendela- jendela kecil pada rumah Niang sudah mengeluarkan asap, tanda mama-mama sedang memasak untuk makan malam bagi tamu dan keluarganya. Aku tak yakin bisa menguasai hatiku dengan kepungan perhatian Alex, San, Noel, Stefan, dan Tom. Walaupun pikiranku juga terus berusaha menggempur kesana kemari untuk tidak hanyut. Tapi juga sayang kalau dibiarkan lepas.

Mengenakan baju tebal, kami duduk merapat di tangga pintu masuk rumah Niang. Tentu saja aku merasa hangat diapit kelimanya. Rumah-rumah kerucut tampak kian terpencil, tenang, sekaligus kokoh melindungi seluruh penghuninya. Tak ada hiburan elektronik apapun. Listrik dari genset juga baru masuk belum lama, itu pun hanya sampai jam sepuluh malam. Derai buliran bening nan lembut berjatuhan menyatu dengan simfoni alam yang masih perawan. Meramaikan jiwa ditengah kesunyian rimba. Suara gemuruh seperti tanah longsor terdengar menggema entah dibagian bukit mana. Suara serangga malam nyaring terdengar. Malam terus merangkak, kesunyian menyelimuti hutan, bukit, dan lembah, yang mengelilingi kampung Wae Rebo.

Tom memeriksa kembali luka bekas gigitan lintah, sambil sesekali aku meletakkan tanganku diatas lutut San yang duduk tepat diatas tangga belakangku, “How your feel?” Tanya Tom disebelahku. “No fever?” Sambung Tom lagi

“I feel oke, doctor. No fever.” Jawabku menggoda Tom yang ternyata seorang dokter.

“Good. Im glad.” Kata Tom. “You looks great and beautiful, tonight.” Sambung Tom

“Aawwwwww” Serempak semua menjawab.

“Ohh, please… don’t make me broken heart.” Jawabku juga santai. Tawa kami tak terhindarkan lagi.

“You are nice and smart women.” Noel yang duduk didepanku berkomentar sambil menghadap kearahku dan mengulurkan tangannya.  “Hi, im Noel. Im single.” Sambung Noel. Tawa kami saling bersahutan.

“Hello, im Ayu. Im single too.” Jawabku.

“Aaaww…. Yess!” Jawab mereka berlima serentak. Dari tempat duduknya, kaki San secara langsung sekaligus tak langsung mengapit tubuhku. Rasanya ada desiran yang menggelinjang, mungkin lebih nikmat dari rasa make love.

“I will bring her in my kingdom, and we will go to paradise together.” Kata San dibelakangku.

“Aahh.. you are unfair..!” Kata Alex.

Dua orang mama-mama, datang menyapa ramah, membawa nampan dengan cangkir-cangkir kecil aluminium berwarna hijau yang sudah berisi kopi kental untuk kami. Aroma kopinya tercium membangkitkan semangat. Tak ketinggalan, talas rebus masih panas ikut menemani kopi asli dari kebun masyarakat Wae Rebo. Duduk sesaat bergabung dengan kami, mama-mama menyapa sekedar memastikan bahwa tamunya senang berada di kampung Wae Rebo.

“Kakak duduk dekat tungku saja biar badan hangat, so...sambil tunggu makan malam.” Ramah mama-mama menawarkan tempat hangat pada kami. Sang mama tak tahu kalau aku sedang diselimuti kehangatan jauh lebih hangat dari api tungku. Bahkan sudah hampir terbakar.

“Kita ingin menikmati malam disini saja, mama.” Jawab San sambil menyeruput kopi panasnya.

“Kalau begitu, segera minum kopinya sebelum dingin, so...” Kata mama sambil berdiri meninggalkan kami.

“Terimakasih, mama...” Jawab kami.

Tamu adalah raja bagi masyarakat kampung. Masyarakat akan membuat tamu merasa nyaman tinggal bersama mereka. Pembagian tamu sebagai bagian dari pemerataan ekonomi, juga didasarkan musyawarah dan dibagi secara adil, sehingga masyarakat merasakan manfaatnya. Tidak ada rasa iri dengki pada mereka. Hal sekecil apapun dibicarakan dan disepakati dengan damai, dikerjakan dengan gotong royong, Menikmati kopi asli Arabika dari Wae Rebo dan betatas rebus dicocol garam, cukup mengalihkan obrolan tentang sebuah rasa kali ini.

Dalam hatiku menyayangkan, tapi membuat kentut dari kopi dan ubi rebus mungkin juga ada baiknya sambil menenangkan hati yang baru saja terpelanting.

“Hmm… good coffee..” Stefan berkomentar

“Toast for us, coffee, love, intrigue, and leech.” Kata San. Kami pun terkekeh sambil tos, lalu menyruput kopi bersama. Kopi nikmat dengan kehangatan rasa yang tumpang tindih, serta ubi pelengkap kisah didalamnya.

Tiba-tiba Tom meraih tanganku yang sedang membawa ubi, ia pun menggigit ubi dari tanganku, “Hmm… yummy..” Kata Tom. Aku melihat Tom sambil tersenyum tanpa ingin berkomentar, sekaligus aku biarkan tingkahnya.

“You are beautiful, smart, and strong women, why you no have boy friend?” Tanya Alex. Didukung yang lain. pertanyaan yang wajar ketika rasa ingin tahu mulai mengarah lebih ingin dekat. Aku diam sejenak. Sambil memegang cangkir isi kopi dari seng.

Mataku memandang jauh ke malam yang tak tertembus, lalu aku mulai bercerita tentang kampret. Tak ada rasa duka yang harus diulang lagi, sikapku datar saja karena semua sudah lebur dalam kisah di Wae Rebo. Aku tak ingin pengakuan kalau aku tangguh, atau menunjukkan sikap punya kisah konyol dalam hidupku. Aku harus jadi diriku sendiri.

Alex, San, Stefan, Noel, dan Tom, diam sekaligus terpana memandangku. Expresi kami berubah menjadi sedikit serius.

“Can we hug you?” Tanya San dibelakangku. Aku membentangkan tangan untuk kelimanya. Kamipun berpelukan. Bergantian satu persatu, mereka cerita tentang diri masing-masing.

Akhirnya aku tahu kalau Tom, Alex, San, Noel, dan Alex (32), mereka bertemu pertama kali di Africa. Bergabung dengan lembaga Internasional, mengabdikan diri untuk anak-anak di sana dengan keahlian yang mereka miliki. Sekitar dua bulan mereka bersama. Sejak saat itu, mereka selalu bertemu dua tahun sekali, menggunakan penghasilan sendiri untuk membantu banyak anak di Africa.

Tom, terakhir punya pacar setahun lalu. Itu pun hanya tiga bulan, karena tak tahan dengan kehidupan Tom yang lebih banyak sibuk dengan profesinya. Lebih mementingkan kegiatan social serta tantangan, daripada harus mengelus-elus kekasihnya. Alex punya kekasih paranoid, delapan bulan lalu karena sangat cintanya pada Alex, hingga Alex hampir saja dipotong penisnya.

San, punya cewek satu tahun lalu, itu pun hanya dua bulan. Karena San mempunyai masalah dengan hormone testosterone maka sang kekasih meninggalkannya ditempat tidur dalam keadaan tak berdaya. uang dari San tak mampu menyelesaikan masalah dengan kekasihnya. Stefan, ditinggal kekasihnya kawin dengan laki-laki lain karena Stefan telat melamar. Noel, sudah pernah menikah setahun lalu, tapi istrinya meninggal karena kecelakaan dalam keadaan hamil.

Aku menatap mereka berlima, lalu saling memegang pundak sekedar memberi kekuatan. “Aawww.. nice to met you..” Kataku.

“So.. we are single!” Kata Noel. Kami pun terkekeh. Saat bersamaan, seorang mama memanggil kami untuk makan malam. Sambil tos cangkir seng kopi lagi.

“Mari kita makan dulu, so!” Kata si mama. Kami berdiri bersamaan,  menuju tempat berkumpul keluarga dan tamu dekat dapur yang hanya beberapa langkah dari kami duduk. Semua sudah berkumpul.

Dengan segala kekurangannya, mama-mama dan bapa-bapa tetap berusaha memenuhi apa yan menjadi hak dari anak-anaknya. Bertanggung jawab maksimal, walau kadang masyarakat luar menilai masih tak layak. Pantang meminta anak-anaknya untuk menjadi pengemis. Kehamilan adalah anugerah bagi keluarga, adat akan memberikan hukuman berat bagi yang menggugurkan kandungan.

“Semua baik-baik, kah? Kakak suka tinggal disini? ” Tanya seorang bapak pada kami.

“Semua sangat baik, bapa... Tidak ada yang kurang, dan kami sangat senang disini.” Jawabku.

Pada kondisi sangat kekurangan pun, masyarakat masih mendahulukan tamu yang berkunjung. Setelah tamu makan, berikutnya akan disusul bapa-bapa, kemudian mama-mama dan anak-anak. Kami mengambil makanan secukupnya, lalu mempersilahkan seluruh penghuni rumah makan bersama. Suasana kebersamaan, sederhana, ditengah gerimis, terjalin begitu hangat di depan tungku di salah satu rumah adat malam ini. Bule-bule didekatku makan dengan lahap sayur bening, nasi putih, telur dadar dan sambal ikan asin.

“You like?” Tanya seorang warga yg sedikit bisa bahasa ingris. Tapi aku sudah membatin kalau nanti dijawab pakai bahasa Inggris, belum tentu bapak itu akan mengerti.

“Yes, I like, it. Yummy.” Jawab Noel sambil menyendok labu dan mengacungkan jempol ke bapak tadi. Mama-mama dan bapak-bapak tertawa. Entah penerimaan apa yang ada dalam benak bapak tadi, aku tidak tahu.

 “Ya….” Jawab sang bapak sambil manggut-manggut. Lalu bapak itu minta pada mama-mama untuk mengambilkan labu sayur bening dipiring. Aku tetap santai makan, tak berpikir apapun. Tiba-tiba si bapak dengan ramah memberikan sepiring berisi labu sayur bening ke Noel. Tentu saja Noel bingung. “Ini pasti gara-gara kata “Yummy”….” Bisikku ke San.

Dengan sopan San mengambil piring dari bapak tadi, “Terimakasih, bapak.. labunya memang empuk dan enak..” Kata San dengan sopan. Akhirnya kami berenam berbagi labu sayur bening, tanpa harus ada pembahasan apapun. Noel juga belum menyadari miss connecting nya, dan ia makan semua labu tadi dengan lahap. Sempurna! Bapak tadi pasti merasa maksudnya benar.

“Kalau kakak Ayu ini pacarnya yang mana, kah...?” Tanya seorang bapak menggoda ku usai makan malam. Seperti biasa, San sebagai penterjemah yang baik bagi sahabat-sahabatnya.

“Saya belum punya pacar bapak… mereka berlima ini tidak ada yang mau dengan saya, so.” Jawabku. Semua tertawa.

“Benarkah??” Tanya seorang bapak menggoda kami.

“Siapa yang mau bawa pulang nona Ayu, so?” Tanya bapak yang lain. Serempak berlima angkat tangan, setelah San mentranslate. Teriakan senang dan gembira dari seluruh isi rumah membuat aku terharu.

“Sekarang kakak Ayu tinggal pilih, so!” Seorang mama mendesak.

“Saya tidak enak kalau pilih didepan orang banyak, so..” Jawabku. Tiba-tiba Alex memanggil San, karena ingin menanyakan tentang Penti pada warga.

“Kae San.” Alex memanggil San. Aku langsung menengok kearah San dan Alex.

“Kae??!!” Tanyaku pada Alex dan San sekaligus aku seperti terkena tegangan tinggi. Jantungku berdetak sangat kencang, hingga telapak tanganku berkeringat dingin.  Berlima saling memandang dan berusaha menyembunyikan suasana didepan seluruh penghuni rumah.

“Kita bisa bicara diluar?” Ajak San. Aku masih tak mampu menjawab. Pikiranku kacau tak karuan. Tapi demi menjaga suasana yang nyaman, kami minta ijin pada seluruh isi rumah untuk berdiskusi diluar.

“Bapak, boleh kita berdiskusi diluar sebentar? Ada yang harus kita bicarakan.” Aku meminta ijin pada seluruh isi ruangan dengan suasana hati yang ngos-ngosan.

“Silahkan, kakak Ayu.. jangan salah pilih, so!” Pesan seorang bapak, yang berpikir aku akan memilih salah satu dari mereka berlima. Aku masih tak percaya kalau San adalah Kae. ada pikiran mereka berlima sedang mempermainkan aku atau semua cerita mereka bohong.

Gerimis juga sudah berhenti. Kami pun menuju tengah lapangan. “Tell me what you mean?!” Tanyaku pada San dan yang lain, tanpa harus dengan berteriak.

“I will tell you all, no hiding anything.” Jawab San “We are agreed to conceal about us, for first. Because we want to know about your program, and we are curious about you.” San menjelaskan. “And we don’t want the people know who we are after we gave a fund.” Sambung San. “So, why I told you in my message, my name Kae and women.” San masih berbicara. “But all the plans become different after we saw you on the plane,  airport until in here.” San menjelaskan panjang lebar. Yang lain mendengarkan. Mulutku masih terkunci. “We like you. I can’t handle my heart. It’s honest. ”  Sambung San lagi, lalu diam.

“First time San saw your program by your facebook. Then we have discuss about it.” Alex menimpali. “So, why San long time to sent second messages to you.” Alex menambahkan.

“Then we need detail your flight from Jakarta. And we booked same flight to Denpasar – Labuan Bajo.” Noel menjelaskan.

“And we still agreed to conceal about fund from San and about too us.” Kata Tom. “Because we had prepared about fund from me, Noel, Stefan, and Alex, will give for your program, after finish Waerebo.” Tom menambahkan.

“San true, we can’t handle our emotion after saw you and know about you.”  Noel menambahkan. “And the story about our live, is honest.” Sambung Noel lagi.

“Everything will different if you know about us in the plane or in the airport Labuan Bajo.” Tom menambahkan.

“How about your car?” Tanyaku

“Our car really broken, that’s not our plan. Our plan meet you again in Denge.” Kata Alex menjelaskan. “We are very happy and shock too when your car stop and help us.” Alex menambahkan.

“No need to worry about your program, we are in here for support of you.” Sambung San.

“Yes, San right. We can Focus about your program in here, and if you are ok, you can choose between us.” Stefan menambahkan. “But I know, San love you since saw you for first time in your facebook account. Until we are agreed to come here.” Tambah Stefan lagi.

“Don’t worry, we are a gentle man.” Kata Alex sambil menepuk pundakku.

“Please, Im sorry. We don’t have problem anything.” Kata San didekatku dan menatapku.  “Im wrong, didn’t talk to you in first time we meet. Forgive me, please.” Sambung San. Aku tak tahu harus bicara apa. Jiwaku lebur dengan suasana malam usai gerimis, rumput basah, serta pengakuan semuanya. Aku menunduk mencoba menenangkan sekaligus berkompromi antara pikiran dan hatiku. Mataku mulai berkaca-kaca.

“Hi, Come on.” Kata San sambil mengelus kepalaku. “Many children in here like you and waiting your smile. Don’t be sad.” Tambah San. Alex, Tom, Stefan, dan Noel. Kami berpelukan sebentar, karena kalau terlalu lama akan berbahaya, dan tidak baik untuk adat.

“Don’t crying.” Kata Alex. “You looks bad when crying.” Alex mencoba menggodaku. Tak ada yang harus dipermasalahkan lagi. Berlima sudah menjelaskan secara gambling. Aku juga tak perlu membuat drama tambahan. Cuma, aku bingung akan bicara ke Anom, ternyata yang ditaksirnya, adalah Kae San, seorang cowok.

“Besok aku masakin, “Yummy” buat nebus kesalahan.” Kata San mengingatkan aku tentang labu sayur bening. Aku tdk bisa nahan untuk tersenyum dan tertawa.  San mentranslate pada Alex, Tom, Noel, dan San, soal kejadian labu tadi. Maka pecahlah tawa kami.

San lalu membibingku masuk lagi ke dalam rumah. Aku juga menjadi bingung kalau harus memilih. Walaupun perjalanan adalah hal yang bagus untuk mengenal orang. Aku memilih untuk menenangkan pikiranku dulu. Sebenarnya, kalau dipikir gampang, tinggal milih salah satu, selesai. Apalagi semua pilihan dalam kondisi bagus. Keinginanku belum mau terlalu cepat memutuskan. Tapi, aku juga tidak tahu. Kami kembali duduk ditangga depan pintu, sambil melihat persiapan penti dari masyarakat.  Hati dan pikiranku masih belum pulih seratus persen.

Gong dari rumah Gendang dibunyikan, tanda warga harus berkumpul untuk membicarakan sesuatu. Bapa-bapa pun segera melangkah ke tempat bermusyawarah. Upacara Penti hanya kurang satu hari. Seluruh masyarakat asli Wae Rebo dimanapun berada, akan pulang untuk mengikuti acara adat, termasuk anak-anak sekolah. Segala kebutuhan untuk upacara akan dihitung kemudian dibagi secara merata pada setiap keluarga. Tak lama, suara musik gendang dan gong terdengar dari rumah Gendang. Sayup-sayup terdengar  suara bapa-bapa berlatih menyanyikan beberapa tembang dengan bahasa Manggarai. Nyanyian yang akan dibawakan saat Penti.

“You should rest. Everything will be ok, tomorrow.” Kata Alex didepanku.

“It’s oke. I need go to toilet for first.” Jawabku.

“Yuk.. aku antar.” Kata San berdiri. Bersamaan lampu mendadak padam. Artinya sudah jam sepuluh lewat. Kami berenam akhirnya pergi ke toilet bersamaan, dan untuk kencing bersamaan pula. Alex membawa senter agak besar untuk persiapan darurat kedokteran sambil sesekali aku menggandeng lengan Alex hingga masuk kamar mandi. Mereka tak mau lagi ada lintah berkeliaran di badanku. Apalagi waktu kencing.

“Aku tunggu disini. Tutup pintu, tapi nggak usah dikunci. Biar saja aku dengar bunyi dua kran.” Pesan San santai. Karena keadaan memang sepi sekali, percuma buatku untuk meredam segala suara yang keluar. Jadi aku biarkan bunyi-bunyian terdengar oleh San maupun yang lain. taka da gunanya juga menjaga gengsi hanya soal suara air seni yang keluar.

“Bagus kok suaranya…” Kata San menggoda.

“Nggak pecah kan suaranya?” Tanyaku balik. San hanya terkekeh.

Dingin angin gunung sudah menembus baju hangatku. Aku mulai menggigil diluar.  Kami bergegas masuk ke Mbaru Niang, tempat kami tidur. Rumah bundar berbentuk kerucut yang mempunyai lima tingkatan. Lutur atau tenda, menjadi nama pada tingkat pertama, sebagai tempat tinggal bagi keluarga. Kemudian Lobo, tempat menyimpan bahan makanan dan barang lainnya. Berikutnya Lentar, adalah tempat menyimpan benih padi, jagung, kacang, dan lainnya. Lempa Rae, digunakan menyimpan stok makanan cadangan jika terjadi gagal panen, atau musim kemarau panjang. Hekang Kode, untuk menyimpan Lengkar. Semacam anyaman bambu berbentuk persegi, sebagai tempat sesajian untuk persembahan leluhur.

Tak lama, suasana sudah berubah sepi, api di tungku yang berada ditengah ruangan sudah mati. Hanya ada senter milikku yang menyala. Aku berada di tengah antara San dan Tom. Aku masih tak yakin untuk bisa ambil keputusan antara mereka berlima. San, Tom, Alex, dan Noel sudah masuk nominasiku. Mungkin besok pagi bisa tinggal dua, atau masih empat, atau hilang semua, atau bahkan Stefan masuk lagi. Who knows.

“Good night… have a nice dream..” Kata Tom sambil memberiku kaos kaki tebal.

“Good night, all… see you tomorrow..”  Jawabku ke semua. Aku bisa merasakan San berulang terjaga hanya sekedar membetulkan selimutku agar aku tidak kedinginan. Malam terus merangkak, mengantarkan kami pada tidur tenang di Mbaru Niang Waerebo, hingga suara kokok ayam membangunkan kami.

***BERSAMBUNG***

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel