Saat Semua Orang Menjadi Tukang Penggal Para Monyet

23 May 2016 23:54 2788 Hits 0 Comments
Jambu Monyet, Lelucon dan Legendanya

Di masa kanak-kanak dulu, Ibu saya selalu marah kalau saya pergi bermain dengan jarak beberapa kilometer dari rumah. Entah saya pergi memancing, berburu burung, atau mencari ranting kayu bercabang untuk dibuat ketapel. Ibu marah dengan dalih takut saya diculik oleh peghelen (semacam tukang penggal kepala manusia). Kata Ibu, peghelen menyasar anak-anak untuk dipenggal kepalanya. Dan kepala itu dimasukkan ke dalam ember untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam karung bersama sejumlah kepala anak-anak lainnya, begitu Ibu menjelaskan.  

Sungguh mengerikan! Tapi saya tak peduli. Bersama kawan-kawan sebaya ketika itu, saya membawa palu dan bilah bambu untuk berjaga-jaga ketika bermain jauh dari rumah kalau-kalau ketemu penghelen. Kami akan menghajarnya dengan senjata-senjata itu. Dan untunglah, peghelen-peghelen itu takut sama kami, wah-wah.

Jauh setelah melewati masa kanak saya sadar, dalih Ibu saya—yang sebenarnya untuk menakut-nakuti saya agar tidak jauh-jauh dari rumah—didasarkan pada sebuah kelakar di musim panen jambu mete (jambu monyet). Sambil berkelakar, orang-orang kampung saya di pedalaman Madura akan menyebut musim ini dengan sebutan mosem peghelen (musim pemenggalan). Iya, ketika orang-orang dengan riang gembira ‘memenggal’ kacang mete dari monyetnya (buahnya). Dan di Madura, buah-buahan ini lebih dikenal dengan ‘monyet’(tanpa ‘buah’) daripada jambu mete.  

Saat musim jambu monyet, semua orang akan berbondong-bondong merayakan musim ‘memenggal monyet’. Mulai dari balita hingga orang tua, baik guru atau murid, baik kepala desa atau istri kepala desa, baik sarjana atau tukang bajak sawah, baik kiaji atau penghulu. Pokoknya, semua orang menyambut mosem peghelen dengan hasrat berkobar-kobar bagai api tungku.  

Ketika musim itu tiba, seorang bayi akan tenang di embanan ibunya yang memengal monyet, orang tua akan terbatuk-batuk sambil memenggal monyet, dan laki-laki (termasuk guru, kiaji, sarjana, kepala desa, tukang bajak sawah, dan penghulu) akan memanjat pohon monyet serupa dengan monyet-monyet liar bergelantungan di pepohonan. Para wanita (yang tidak punya bayi, atau anaknya sudah melewati usia bayi, atau tidak punya anak), akan mendongakkan kepalanya ke ranting-ranting jambu monyet dengan galah bambu menjulur di tangan sebagai alat memetik monyet. Dan, seusai monyet itu dipenggal (cukup dengan tangan saja), biji atau kacang monyetnya diletakkan di dalam ember untuk selanjutnya diletakkan di dalam karung kalau sudah sangat banyak.

 

Jambu Monyet, Pepohonan yang Tertidur saat Rapat Akbar

Bila kita perhatikan dengan seksama, jambu monyet adalah buah-buahan yang ganjil. Sementara buah-buahan lain menyimpan biji (biji)-nya di dalam buah, jambu monyet justru menaruh bijinya di luar. Mangga, bijinya di dalam; rambutan, bijinya di dalam; mengkudu, bijinya di dalam; duren, bijinya di dalam; dan bahkan jambu biji dan jambu air, bijinya ada di dalam (dari namanya kedua jambu ini terlihat sebangsa dengan jambu monyet meskipun kenyatannya tidak). Hanya jambu monyetlah yang bijinya ada di luar buah (kalau kalian mengetahui ada buah-buahan yang bijinya ada di luar buah, post di kolom komentar ya).

Usut punya usut, keadaaan jambu monyet yang bijinya ada di luar itu karena insiden yang menimpa jambu monyet di masa lalu. Dulu, dulu sekali, sangat terlampau dulu, para pohon di dunia ini dikumpulkan di suatu tempat khusus untuk sebuah rapat maha-penting di mana setiap jenis pepohonan mengirimkan satu pohon sebagai delegasi (tempat khusus ini barangkali terlihat seperti Dewan Perwakilan Pepohonan—kita sebut saja begitu ya, hi-hi).

Dalam pertemuan itu, diumumkan dan diperintahkan pada setiap jenis pohon tentang apa yang harus mereka kerjakan di dunia ini (begitulah Ibu saya bercerita ketika kami berdua sedang memenggal monyet). Perintah dalam pengumuman itu ada tiga mandat. Pertama, setiap pohon harus berbuah. Kedua, setiap pohon harus berbiji. Dan ketiga, setiap pohon harus berbiji di dalam buah (siapa ya yang memerintah? Ibu tak menjelaskan pada saya siapa si empunya perintah.. hmm...).

Tiga kewajiban pepohonan ini tentu saja dijelaskan secara detail pada setiap pohon perwakilan pepohonan yang hadir saat itu. Mulai dari bentuk buah, kulit buah, bentuk biji, jumlah biji (biji tunggal atau jamak), sampai pada rasa dan warna daging buah. Pohon ini bentuk buahnya begini, kulitnya begini, rasanya begini, dan seterusya; pohon itu bentuknya begitu, kulitnya begitu, rasanya begitu, dan seterunya; pohon ngono bentuknya begono, kulitnya begono, rasanya begono, dan seterunya.

Nah, tepat pada saat pengumuman ketiga, perwakilan pohon jambu monyet tertidur (jambu monyet tak ubahnya seperti beberapa anggota DPR RI yang sukanya tidur saat rapat, ho-ho). Si pohon jambut monyet tak mendengar sama sekali kewajiban nomor tiga. Dan delegasi pohon jambu monyet merasa kewajibannya hanya ada dua (begitu ia menyampaikan pada bangsanya sekembalinya dari rapat akbar itu).

Maka demikianlah, pohon jambu monyet berbiji di luar buah dan diletakkan sembarangan pada buahnya alias digantung begitu saja. (Omong-omong, apa yang terjadi pada delegasi jambu monyet terjadi pula pada salah satu delegasi hewan, yakni itik, saat rapat akbar di kalangan para hewan. Soal ini nyusul yang kapan-kapan, hu-hu).

Seandainya delegasi pohon jambu monyet saat itu tidak tertidur, sudah pasti tidak akan pernah ada pemengangan-pemengalan terhadap jambu monyet. Orang-orang di dunia ini tidak akan pernah menjadi tukang penggal para monyet. Dan, apa jadinya jika biji monyet (mete) ada di dalam buahnya?

Sebelum Ibu menutup ceritanya tentang asal-muasal (atau lelucon) jambu monyet yang berbiji di luar buahnya, saya bertanya bagaimana dengan pepohonan yang memang tidak berbuah (sebenarnya saya tidak tahu jenis pohon apa yang tidak berbuah, ha-ha)? Ibu menjawab: pepohonan yang tidak berbuah tidak hadir ke rapat pepohonan saat itu.

 

Pajagungan, 23 Mei 2016

*Sumber foto: www.ruangtani.com

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel