Postcard Waerebo Bab 3

19 May 2016 19:34 14862 Hits 311 Comments Approved by Plimbi
Tracking menuju kampung Waerebo yang exotic dimulai. apakah Ayu, Alex, San, Noel, Tom, dan Stefan, mampu tiba sampai puncak?

Postcard Waerebo

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut :

Postcard Waerebo Bab 1

Postcard Waerebo Bab 2

 

 

 

 

 

BAB III

Tak perlu ditanya, aku bisa tidur nyenyak atau tidak, semalam. Yang pasti, bayangan Alex, San, Tom, Noel, dan Stefan, leluasa bermain dibenakku. Aku ingin segera pagi dan bersama mereka lagi. Walaupun sebenarnya, kelompok San maupun aku bisa berangkat tracking sendiri-sendiri. Tapi karena sudah terikat azas ketergantungan, kami pun sepakat berangkat tracking bersama.

Pukul lima pagi. Dua porter Juven, Pius, dan Frans, sudah menggendong barang-barang berat milik kami. Aku menguncir rambutku seperti ekor kuda, mengenakan celana tiga perempat, serta kaos sport. Beriringan meninggalkan halaman penginapan Pak Blasius, melewati SDN Denge, dan mulai menjejak hutan menuju perkampungan Waerebo. Udara sejuk, menyajikan oksigen yang tak terkira jumlahnya. Hingga lendir berupa batuk dan pilek sisa duka gagal nikah, keluar semua seperti di gurah. Untung aku selalu bawa tissue, jadi tidak perlu pinjam kaos perjaka-perjaka disekitarku.

Hujan lebat semalaman menyisakan suasana lembab dan jalan licin karena berlumpur. Embun Serangga hutan membuat konser sendiri memadukan dengan suara tetesan air dari dahan tinggi. Tongkat kayu menjadi kaki tambahan menopang tubuh, hingga langkah ditiap tanjakan lumayan terbantu. Daun-daun kering yang masih basah, berserakan disepanjang jalan setapak.

Kalau cape, kita bisa istirahat dulu, kakak.. Kata Pius.

Baru beberapa meter sudah kau suruh istirahat, kita bisa tua dihutan, so..! Jawabku. Saat bersamaan langkah kami terhenti karena puluhan binatang kaki seribu sebesar jari telunjuk Frans bertebaran dimana-mana, ada yang santai nglinker, ada yang melenggok kesana kemari. Aku tak ingin bikin drama berteriak-teriak geli supaya diantara mereka menggandengku. Aku berusaha menenangkan diri, karena daripada digandeng Pius disebelahku.

Tidak biasanya seperti ini! Mungkin karena hujan semalam sangat lebat! Jata Juven, sambil minggiring barisan luwing dengan kakinya.

Oh God.. Lots of Luwing..! Stefan berteriak. Aku bisa meyimpulkan, kalau berlima memang biasa keluyuran di hutan, karena nama Luwing pun mereka tahu. Aku melompat sambil berjingkat melewati barisan parade Luwing sampai habis.

San maupun empat bule ini terlihat tenang. Dari sini paling tidak, aku bisa menebak gadis seperti apa yang diinginkan oleh model cowok seperti San, Stefan, Alex, Noel, dan Tom. Tidak dipungkiri, aku juga telah menguras perhatian kelimanya.

Matahari mulai menembus sela-sela pepohonan dan daun-daun. Warna warni kupu-kupu bermunculan terbang mengitariku. Sayang aku tidak faham bahasa mereka. Satu kupu-kupu berwarna kuning, santai hinggap diatas tas camera milik San, mengepakkan sayap mungilnya. Mungkin hanya ingin pamer kecantikan padad San. Tapi karena San lebih tertarik dengan wanita, jadi cukuplah kupu-kupu itu menjadi hiasan.

Kami terus menyisir mengikuti lekukan bukit, melewati jalan setapak yang tertutup hutan lebat, berkelok, terkadang menikung tajam. Kami harus berhati-hati saat menginjak tanah gembur dan dibawah adalah jurang menganga.

Aku berusaha mengatur keseimbangan nafas dan langkah supaya tidak ngos-ngosan. Perjaka-perjaka disekitarku masih santai dengan medan yang terus menanjak. Sedangkan perjalanan masih dapat setengah untuk tiba di pos satu. Keringat yang mulai mengalir kebagian dalam terntu, dan ini pasti membuat geli.

Are you oke? Tanya San didepanku sambil menengok kearahku

Yes, I am oke. Jawabku.

Berapa sering kamu kepedalaman, Yu... Tanya San mengalihkan perhatian sambil mengulurkan tangannya menarikku pelan-pelan. Aku menapak di tanah rawan longsor yang bawahnya jurang. Pegangan tebing. Sambung San. Sedangkan Tom dibelakangku sudah sigap menjagaku.

Lumayan sering. Fokus dan fokuss! Jawabku sekaligus mengalihkan rasa tidak nyaman melihat jurang dibawahku. Erat San memegang tanganku.

Kumpulan lumpur yang menempel pada sepatu kami semakin tebal. Aku sudah membayangkan pasti lintah-lintah sedang mencari darah segar. Saat imajinasiku belum sampai ending,

Wait! Tom menarik pundakku. Santai ia berusaha mengambil dua lintah yang sudah gemuk dibetisku. Smart leech for choosing your blood. Goda Tom sambil bercanda. Geli juga aku melihat lintah yang sudah tambun minum darahku, sekaligus susah ditarik.

Thank you, Tom. Kataku, sambil menahan geli luar biasa. Tapi apa mau dikata, aku sedang berada di hutan, berarti resikonya aku harus siap berhadapan dengan lintah penghisap darah. Karena aku tidak mungkin balik menghisap darah lintah.

My pleasure. Jawab Tom. Kami kembali melangkah.

Entah daya tarik apa yang ada pada darahku atau kulitku. Belum lama kami melangkah, kali ini kembali tiga lintah mencengkeram erat di betis kiri-kananku. Mungkin mereka pikir aku punya betis seperti Kendedes. Kali ini San turun tangan ikut mencabut lintah dari betisku.

Pakai autan deh, biar lintahnya nggak jilat-jilat betismu lagi. Kata San, sambil menyodorkan autan, lalu ia memberi betadine di tiap bekas luka gigitan lintah.

Tiba-tiba Frans berbicara, Janagn gerak, so. Tenang.. ada Ular dekat kakak. Kata Frans sambil menunjuk kearah aku dan San. Kakak tetap tenang. Kata Frans lagi.

Aku dan San yang posisi sedang duduk setengah slonjor, baru menyadari ular berwarna doreng-doreng dengan panjang sekitar satu setengah meter, lingkar badan sekitar duapuluh centi, sudah berada beberapa centi dari kaki San. Mata San menatapku lembut, memberi isyarat jangan panic. Atur nafas tenang. San berbisik. Semua posisi diam tak bergerak. Ular pun dengan santai melingkar di pergelangan kaki lalu bergerak naik sedikit. San terlihat menahan napas. Lalu si ular berpindah kekakiku. Seperti hendak lewat menuju semak, dan berhenti sesaat diatas kakiku. San menatap dengan sangat lembut bibirnya bergerak Tahan nafas. Gerak bibir San.

Semua mata memandangku, Aku melihat Frans dan Juven sudah siap bertindak. Tak berapa lama, si ularpun bergerak cepat sekali melesat masuk bagian hutan lain. mulutku sudah tercekam tak bisa bicara, kali ini aku tidak basa-basi. San langsung memegang tanganku erat, demikian juga dengan Tom yang mengelus kepalau. You are great! Kata Tom. Kami harusberdiri dan melanjutkan langkah. Suara gemercik air sungai mulai terdengar semakin jelas, itu artinya kami akan segera tiba di pos pertama.

Kamu tenang sekali. Kataku pada San yang masih menggandeng tanganku dari depan.

Karena aku pingin nenangin kamu. Jawab San santai. Pikiran dan hatiku seperti tersegrak dengan jawaban San.

Dari kejauhan arah turun terdengar orang saling berbincang dengan bahasa Manggarai. Tak lama, terdengar nyanyian merdu juga dengan bahasa Manggarai. Sound systemnya memantul alami lewat bukit dan hutan lebat. Suara sang penyanyi meliuk naik turun menghayati lagu yang sepertinya sedih. Frans lalu menyahut juga dengan lengkingan yang sama. Tak lama, kami pun berpapasan dengan pemilik suara asli. Ternyata, sang penyanyi hendak turun menuju Denge, menjemput tamu.

Selamat pagi.. Sapa kedua warga Wae Rebo ini sambil menjabat erat tangan kami satu persatu.

Selamat pagi.... Jawab kami bersahutan. Walaupun tak fasih bahasa Indonesia, paling tidak perjaka bule disekitarku sudah bisa mengucap selamat pagi.

Kalian dari mana, kah...? Tanya salah satu dari warga Waerebo sambil tersenyum

Kami dari Jakarta, Bapak. Jawab San spontan

Pelan-pelan, jalan hutan licin karena huja semalam, tidak usah buru-buru... Pesan mereka dengan tulus. Hari ini, cuaca sepertinya cepat berubah, hati-hati, ya. Sambung bapak lagi.

Terimakasih, pak... Jawabku, sambil membatin cuaca yang cepat berubah.

Beberapa meter kemudian, kami tiba di pos pertama, terletak tepat di tepi sungai sangat bening. Wajar, karena terletak ditengah hutan belantara yang belum tercemar. Bagian dasar sungai tak dalam, tertutup oleh batu-batu warna putih dan hitam, dengan beragam ukuran dan bentuk. Suara gemeciknya tak lebih seperti dentingan piano, menciptakan ketenangan pada siapapun yang datang.

Kami segera berlomba turun ke sungai, duduk diatas bebatuan besar, dan mulailah kita membersihkan lumpur pada sepatu masing-masing. Melihat air yang bening dan segar, tak tahan juga kami untuk tidak menceburkan diri. Bak main di film India, aku disiram air oleh lima pemuda-pemuda yang sedang memperebutkan cintaku. Sampai rambutku ikut kuyub. Tapi tak apa, karena hatiku gembira.

Beberapa menit di sungai, cukup memulihkan energi kami. Terutama energy dari dalam yang sedang meletup atau blekuthukan. Kembali kami jalan beriringan menaiki bukit, melewati jalan setapak, licin dan berlumpur. Hutan rimba semakin lebat, tanjakan semakin tajam. Keringat dan air sungai bercampur baur ditubuhku. Angin dingin tiba-tiba bertiup sedikit kencang, selang beberapa menit, angin semakin kencang. Dari atas terdengar suara gemuruh.

Pegangan pohon! Ini angin kencang! Teriak Juven.

Go go!! San berteriak menarikku kearah pohon besar terdekat besama Noel. Aku melihat semua berpencar. Angin kencang tiba-tiba menghempas bersamaan suara gemuruh yang semakin keras dari atas. San dan Noel merangkul kepalaku sambil berpegangan pohon. Ada rasa sesak dan dingin saat angin mengenai tubuhku karena kuatnya. Reflek aku berpegangan erat pada tangan San. Angin seperti berputar. Tak lama, angin berhenti begitu saja dan menghilang entah kemana.

Noel memeluk kepalaku erat, Is everything oke? Tanya Noel.

Yes, im ok. Thank you. Jawabku. Getaran-getaran indah satu persatu datang.

Its oke. Jawab San

Ini hanya sambutan buat kakak,so. Frans berkomentar ringan. Kami pun kembali melanjutkan langkah. Aku melihat expresi dari San, Alex, Tom, Noel, dan Stefan, tetap tenang. Kesiapan mental pada kondisi buruk sepertinya sudah masuk SOP mereka berlima. Ada rasa penasaran tentang mereka.

Kami kembali bertemu dengan adalah warga kampung Waerebo yang bekerja di Denge, Dentor, dan desa lain, hendak kembali ke kampung mereka karena Penti. Melihat kekuatan mama-mama dari kaki hingga kepala menyunggi beras seberat 15 kg, sambil menggandeng dua anaknya masih kecil. Ada pula yang menyunggi belanjaan lain dan tak kalah berat. Papa-papa dari Waerebo tentunya juga tak mau kalah soal kekuatan. Ada yang menggendong beras sekitar 40kg lebih. Papa lainnya membawa ayam, ikan besar-besar yang jumlahnya tak sedikit. Masih banyak belanjaan lain yang mereka pikul dengan mengikatnya pada dua ujung bambu dengan panjang sekitar dua meter. Tak terlihat banjir keringat pada mereka. bahkan bisa jadi lintah-lintah sudah hafal darah mereka satu persatu.

Selamat siang...? Sapa masyarakat lokal ramah, sambil menjabat tangan erat dan menanyakan dari mana asal rombongan kami.

Kita ada ubi dan minum, mau kah? Mereka menawarkan bekalnya yang tak seberapa pada rombongan kami.

Terimakasih... Bagaimana kalau kita bertukar bekal saja. Jawabku tentu saja sambil tersenyum. Spontan, San langsung mengambil coklat tak banyak dari tas nya. Tom, Alex, Stefan, dan Noel, ikut mengeluarkan biskuit untuk mereka. Aku menggigit ubi tanpa harus membayangkan pizza. Sedangkan anak-anak didepanku, menikmati biscuit dan coklat sampai lupa dengan ubi yang biasa mereka santap.

Biar kau tidak bingung rasanya ubi dan coklat, coklatnya kau gigit pakai gigi sebelah kanan, so..! Kata Frans menggoda anak-anak. Anak-anak hanya tertawa memamerkan giginya yang ompong hitam. Kami pun berbincang sedikit tentang cuaca yang cepat berubah.

Nona harus segera tiba di kamung. Hujan sebentar lagi pasti turun.! Kata seorang bapak

Musim penghujan kali ini lebih sering dan besar, itu artinya kemakmuran kami akan bertambah. Seorang warga ikut menjelaskan. Warga kampung pun segera pamit.

Masyarakat hidup jauh di pedalaman, menyatu dan memelihara alam, mereka lakukan dengan pemikiran waras. Naik turun gunung membawa barang-barang berat, adalah hal lumrah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hidup dalam kesederhanaan, namun masih bisa berbagi dan memikirkan orang lain. Keramahan dan ketulusan masyarakat tergambar jelas pada sikap mereka. Kami tak perlu was-was walaupun berada di tengah hutan.

Tom, Alex, Stefan, dan Noel, masih termangu dengan sikap masyarakat yang baru saja berlalu. Sedangkan San merasa kecil melihat ketulusan dan ketangguhan masyarakat disini. Ramalan cuaca masyarakat kampung pun, tidak meleset. Dari matahari terngang, perlahan mendung menutup hutan, gelap dan semakin gelap.

Pantas, kalau kamu menyukai trip ke pedalaman. Kata San. Ada kedamaian yang pantas untuk dirindukan. Sambung San lagi.

Kalau begitu.. mari kita lanjoottt lagi¦ ! Jawabku. Karena dari selamat pagi hingga selamat siang, bahkan baju yang basah oleh air sungai di pos satu sudah kering lagi. Kampung Waerebo belum juga terlihat. Entah aku yang lamban naik gunungnya atau memang medan yang susah. Aku juga bingung. Walaupun aku tahu sebenarnya San dan bule-bule itu biasa tracking. Tapi tetap tak meninggalkan aku.

Pius¦! Masih jauh kah? Tanyaku

Tidak, kakak¦ kurang beberapa langkah lagi! Jawab pius santai. Entah langkah keberapa.

Hutan kembali nyenyat, hanya ada suara burung dan serangga yang belum lelah bernyanyi. Sama jalanan masih terus menanjak. Ada sedikit getaran-getaran yang enak saat sesekali San ataupun Alex menggandeng tanganku. Padahal keduanya hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kami berenam semakin akrab karena perjalanan. Mendung yang gelap mulai menurunkan airnya sedikit demi sedikit. Kami segera mengenakan jas hujan tipis, murah, meriah. Hujan lebat akhirnya tumpah.

Jalan setapak dan menanjak yang kami lewati berubah menjadi sungai berlumpur. Medan yang menurutku tak mudah mengharuskan kami untuk terus berjalan. Bergantian kami tergelincir dan jatuh. San dan keempat bule bergantian tempat didepan dan belakangku menjagaku agar tidak telempar terlalu jauh. Kami harus bersusah payah saat melewati tanjakan yang menikung. Untung aku menggunakan BH dan celana dalam sport, sehingga tak perlu khawatir tali bra ku putus. Ukuran isi bra tak menghalangi apapun model gerakanku karena masih normal walaupun lebih sedikit. Air hujan seperti ditumpahkan dari atas ke wajah dan tubuh kami. Tak perlu khawatir dengan bawaan kami pemirsa, semua sudah rapat dengan pembungkus anti air.

Tiba-tiba angin kencang datang menghempas kami. Frans langsung meraih tangan Alex. Alex berusaha menarik tanganku, tapi karena angin dan air menghempas bersamaan sangat cepat, aku terpelanting kearah jalanan turun. Jas hujan yang kami kenakan seperti hanya berfungsi 60%.

San!!! Aku berteriak tak bisa menahan tubuhku. Otomatis aku menggelinding diturunan, San dan Stefan melompat mengejarku sambil berlari, karena sebelah kiriku ada jurang yang tertutup kabut. San pun berhasil menarik tanganku. Aku, San, dan Stefan pasrah mengikuti turunan lumpur licin dan berhenti tepat disema-semak, bersamaan angina kencang berhenti.

Thank God.. Teriakku diantara derasnya hujan dan kepanikan. Aku memeluk pundak San dan Stefan. Aku tak ingin membayangkan dimana lintah sedang bermain. Jalan tracking semakin licin dan susah. angin kencang belum ingin reda. Kita seperti terjebak pada sungai berlumpur, dan harus melawan arus untuk naik. Berlima tiada henti memastikan bahwa aku masih kuat.Semakin jauh kami berada di tengah hutan lebat. Perlahan hujan mulai mereda. Tanganku sudah pasi, keriput, dan dingin. Tom didepanku terus menggandeng tanganku hingga tiba di pos ke dua. Bersamaan hujan berhenti dan matahari kembali panas lagi.

Melepas jas hujan yang sudah berantakan dan istirahat sesaat, aku masih sedikit menggigil, baju kami juga masih basah. Memandang gugusan bukit tertutup hutan lebat, menikmati udara dingin, sekaligus mengeringkan air hujan dan lumpur di badan. Ada harapan pulang membawa cinta dari salah satu lima cowok disekitarku ini, khayalanku sesaat. Tapi kalau benar terjadi, aku juga berterimakasih.

Kamu biasanya sama siapa kepedalaman-pedalaman¦? Tanya San kepadaku sambil melihat bentangan alas didepan kami.

Kadang sama sahabatku, Anom. Kadang juga sendirian.. Jawabku. San memandang sesaat kearahku. Kamu sendiri, hanya sekedar trip, atau ada misi yang dibawa setiap jalan? Aku balik bertanya

Tidak ada program khusus, tapi paling tidak ada hal positive yang bisa kita kerjakan untuk masyarakat yang kita kunjungi. Penjelasan yang sudah cukup dari San, dan aku tak perlu tanya lebih panjang lagi. San tiba-tiba menatap leherku karena, Oh God.. kamu tetep liat depan, Lihat wajahnya Stefan.. Kata San sambil memegang leherku dan memberi kode pada Stefan dan Tom. Aku tahu ini pasti lintah, aku harus nahan untuk tidak teriak, walaupun sudah sangat geli. Stefan segera ambil posisi didepanku dan memegang dua tanganku.

I dont know¦ why they love you¦.?! Tom berkomentar santai sambil mencabut dua lintah.

Leher jenjang yang bagus untuk para lintah bercengkerama¦ San berkomentar, aku merasakan san sudah mencabut dua lintah.

Itu ada satu yang kecil dekat telinga kakak, San..! Juven santai sambil ikut jongkok dekatku, sambil menyodorkan betadine ke San.

Sempurna!! Lima lintah mendapatkan darah didaerah sensitive.. Kata San sambil mengolesi betadine. Juven mengumpulkan lintah dari leherku dan membuangnya di dekat pepohonan. Aku berpegangan pada Stefan dan San lalu berdiri.

Tapi aku masih merasakan ada yang mengganjal dibagian dadaku. Sontak aku berpegangan pada Stefan dan San.

Please¦ada didadaku! Aku setengah berteriak geli pada San.

Oke, calm.. we will take it. Stefan berusaha menenangkan aku. San dan yang lain saling berpandangan, sementara aku sudah hampir tak tahan untuk tidak berteriak.

San menarik nafas panjang, memelukku untuk tidak menangis. Aku harus minta maaf sebelumnya, ya¦ Kata San, dan jemarinya mencabut lintah yang menempel didadaku, tak jauh dari buah didadaku. San mash memelukku dan melempar lintah ke pepohonan. Sambil menenangkan diri, aku segera mengolesi bekas lintah dengan betadine. Aku tak peduli berlima memperhatikan belahan dadaku atau tidak.

Itulah lintah, hidup sebagai parasit dengan cara menghisap darah untuk memperoleh makanannya. Para lintah menyerang korbannya dengan menggunakan alat penghisap bagian depan. Tubuhnya licin, panjangnya dari 2 cm hingga 18cm, ada warna hitam, coklat, merah, atau berbintik.

Kami harus kembali menyisir jalan setapak. Aku merasakan ada keanehan dibagian belakang lutut. Sontak aku berteriak, Tom!! sambil aku mencengkeram lengan Noel didepanku keras. Aku sudah hampir mengeluarkan air mata.

Oke, relax¦ kami akan cari.. Kata San mengelus rambutku. Kamu rasakan dimana? Tanya San lagi dengan tenang.

Di belakang lutut. Jawabku masih mencengkeram lengan Noel. San langsung berbicara dengan Tom dan Stefan serta Alex. Stefan mengambil gunting kecil dari tasnya dan langsung menggunting celana tiga perempatku.

Im sorry, I must cut your pant. Kata Stefan sambil menggunting celanaku. Aku sudah tidak peduli.

Oh, my God! Alex dan Tom berkomentar bersamaan. San memberi kode ke Noel, agar aku tidak melihat ke tempat lintah bertengger. Entah apa yang diambil Tom dari tasnya, ia seperti mengeluarkan obat serta pinset kedokteran.

Mau lihat, apa tutup mata..? Tanya San berusaha mengalihkan perhatian. Tutup mata lebih enak aku pikir¦lebih dalam rasanya.. Sambung San. Aku tersenyum menahan geli dan sedikit sakit. Aku tak melihat seberapa besar lintah menghisap darahku.

Do you want see? Tanya Alex, sambil mengobati lukaku. Aku pun menengok kebawah didaerah dekat pahaku. Bekas gigitan lintah yang cukup panjang sekitar 15 centi meter.

San, panjang sekali!! Aku teriak membayangkan lintah panjang itu menghisap darahku hingga besar.

Ssttt¦ jangan khawatir, semua akan membaik. Jawab San menenangkan aku. Nanti pulangnya, kamu harus pakai autan.

You should take medicine. They were bite you. Kata Tom sambil mengulurkan obat dan air mineral. Aku segera meminumnya. You will be ok. Tom meyakinkan.

Dari pos ke dua, tanjakan bisa dikatakan normal. Soal lintah lebih mudah dilupakan. Langkah mulai relax, bercanda, dan foto bersama. Soal keringat jangan ditanya, sudah seperti mandi. Kaos yang aku kenakan juga sudah basah. Noel, San, Tom, Stefan, dan Alex, tentu saja tak perlu membayangkan apa-apa. Senyuman dari mereka berlima sudah cukup banyak arti. Dititik jalanan menurun tajam, Alex yang berganti posisi didepanku dengan San, memegang erat telapak tanganku. Aku sudah pasti membiarkannya. Saat memasuki jalan datar, San menepuk dan memegang pundakku dari belakang.

Is everything oke? Tanya San. Aku mengangguk sambil mengumpulkan sisa tenaga.

Kami mulai melewati kebun kopi milik masyarakat kampung yang berarti tak lama lagi kami akan sampai. Jenis kopi Arabika mendominasi tempat ini. Biji-biji kopi pilihan terlihat sudah siap panen. Biji kopi yang sudah matang, penuh, dan utuh. Kembali bak film India, kami berlari saling mengejar untuk duluan sampai ke pos terakhir. Noel melompat dari belakang San, lalu menarikku berlari. Aku pun berlari mengimbangi Noel. Tak perlu aku harus teriak manja. San melompat, dari samping ia berhasil mengejar Noel. Noel pun menyerahkan tanganku ke San.

Kuch-kuch hotahe¦ Aku menggoda San dan Noel. San membawa aku lari, Tom, Stefan dan Alex tak bisa mengejar San. Tawa kami diantara tanaman kopi tak terhindarkan lagi.

Bawa lari, kakak San¦! Teriak Frans.

San bersorak bisa membawaku lari tiba di pos terakihr. Lalu susul menyusul Sebuah pos terletak menyendiri diantara tanah lapang yang tak begitu besar. Masih dikelilingi pepohonan rindang. Sengaja dibangun oleh tamu bersama masyarakat. Berbentuk rumah panggung dari bahan papan, para tamu atau wisatawan bisa melihat dan membidikkan camera dari ketinggian ini dengan sempurna. Terdapat sebuah kentongan tak begitu besar dengan alat pemukulnya, tergantung di bagian ujung ruangan. Kentongan difungsikan untuk memberi tahu pada masyarakat kampung asli Wae Rebo, bahwa ada tamu yang datang.

Berada diatas pos terakhir, kami terdiam menyaksikan tujuh rumah berbentuk kerucut berwarna abu-abu yang berada dibawah. Letak satu rumah dengan lainnya membentuk setengah lingkaran. Desir angin gunung meniupkan hawa sejuk. Kami berenam, berdiri saling merangkul, menyaksikan kabut tebal dan tipis, silih berganti menyelimuti kampung Wae Rebo. bagai negeri diawan. Hatiku berdesir kagum menyaksikan segala didepanku, juga berdetak kencang ditengah cowok-cowok ini.

Berada di ketinggian sekitar 1.300 meter diatas permukaan laut, tepatnya di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mase Barat, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Rumah adat Wae Rebo seolah menemukan kesendiriannya berdiri di kesunyian dengan tenang. Masyarakat setempat meyakini, ada tujuh kekuatan alam menjaga semua yang ada didalamnya.

Kamu sudah baikan? Tanya San sangat manis sambil bersandar didinding. Aku sengaja memandang San sambil tersenyum manis.

Yang pasti, gara-gara lintah keadaan semakin lebih baik. Jawabku santai.

San menatapku, Apalagi lintah terakhir.. San balik menyerang santai. Alex menyodorkan coklat ke aku dan San. Desiran jiwa pun terhenti sementara karena coklat. Alex memandangku dan memandang San seperti curiga. Cuek Alex menyuapkan coklat yang dipeganya ke mulutku. Aku juga tak menolaknya. San memandangku tersenyum salah tingkah.

Penghargaan UNESCO Asia - Pacific Award tahun 2012 diberikan dalam rangka pelesatarian warisan budaya untuk rumah adat ini. Ada tujuh rumah adat yang disebut rumah Niang di kampung Wae Rebo. Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro. Usia kampung yang sudah memasuki generasi ke 18. Satu generasi mencapai usia 60 tahun. Hingga umur kampung Waerebo saat ini lebih kurang 1.080 tahun. Arsitektur menggunakan sistim jaring laba-laba, dimaksudkan untuk menghalangi angin topan.

Kami pun memukul kentongan kecil diujung ruangan. Bunyi nyaring kentongan akan terdengar hingga tempat masyarakat kampung. Lalu kami melangkah cepat menuju rumah Niang Waerebo. Ada harapan desiran kalbu akan terus berlanjut, untuk beberapa hari kedepan. Tapi aku juga tidak ingin terlalu melambungkan diriku sendiri terlalu tinggi. San menarik tanganku saat aku hendak mendahuluinya, lalu menggandengku. Trus turun menuju kampung Waerebo.

***BERSAMBUNG***

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel