Guru, Benarkah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ?

25 Nov 2015 23:01 3385 Hits 0 Comments
Keikhlasan guru tidak bisa dinilai secara dhohiriyah.

Kembali lagi mengingat hari guru. Harus bertemu dengan tanggal 25 November yang selalu ramai dengan teriakan “terimakasih guru”. Melihat para murid berbondong-bondong memborong bunga yang ada di emperan jalan. Murid-murid membeli  karangan bunga untuk guru-guru yang pernah mengajar mereka di kelas. Setelah upacara peringatan hari guru, tangisan di antara guru dan murid pecah.  Bunga yang indah itu disimpan di atas mimbar upacara.

Ibarat saudara yang tak pernah bertemu. Tangisan itu menjadi-jadi ketika sang guru mencoba merangkul murid yang jumlahnya ratusan. Meski tangan itu tak bisa menggapai seluruh murid yang ada di hadapan guru. Setidaknya, menumpahkan air bersama guru akan terkenang selama menuntut ilmu dimanapun. Sekelumit kisah mengenai guru, tidak perah bosan-bosanya dijadikan bingkaian dalam ingatan.

Entah, hari guru itu ceremonial belaka, menggunakan  baju kebesaran guru-guru Indonesia. Panji-panji “pahlawan tanpa tanda jasa” kini telah usang.  Guru  yang ada hanya guru yang haus akan material duniawi demi kemaslahatan hidup pribadi, tanpa memikirkan murid yang terkebiri dari dunia fana ini.

Entah, guru spesies apa ?. Tiba-tiba menjadi guru di abad ke 21. Dunia yang mencoba memberi kesan modern. Guru-guru yang “kolot” ditinggal jauh-jauh. Sistem-sistem berusaha menekankan mereka agar bisa memakai alat-alat modern. Mulai dari genggaman yang di isi telepon, hingga beranggkat ke sekolah menjinjing komputer.

Entah, guru yang seperti apa ? Tiba-tiba minta di hormati. Meminta jatah lebih dari uang yang sudah dianggarkan. Masih ingat ketika Romo K.H Wahib mengajarkan tentang mencari ilmu dengan ikhlas suk mben ikhlas untuk melakukan apa-apa dalam pengajian kitab Bidayatul Mujtahid di bulan Puasa tahun 2011. Keikhlasan itu bukan sesuatu yang instan di buat oleh masing-masing individu, tetapi kebiasaan hidup secara ikhlas. Berprilaku ikhlas dan tidak tak Nampak dimata manusia tapi Tuhan mana mungkin menilai tidak benar. Ikhlas tak perlu definisi, melainkan perilaku yang mencerminkan keikhlasan itu sendiri.

Keikhlasan guru tidak bisa dinilai secara dhohiriyah. Pangkat pahlawan tanpa tanda jasa yang telah usang kini ingin di hidupkan kembali. Dimana guru-guru memberikan perhatian terhadap murid tidak hanya melalui jalan-jalan materialistis. Jalan-jalan lusuh seharusnya dilalui oleh para guru-guru.

Belajar dari pembelajaran pondok-pondok pesantren. Santri-santri lama yang bercerita dipondok memberikan kesetaraan kepada semua santri untuk mendapatkan barokah, pelayanan, hingga ngaji. Tak ada pamrih materialistis, lusuh sama lusuh, kusut sama kusut, jalan sama jalan.  Istimewa dan tidaknya hanya tergantung oleh individu, tanpa memalingkan kepentingan sosial yang ada.

Entah, harus bagaimana saya menghargai seorang K.H Hasyim Asyari yang sudah memberikan penceraan pada kawan-kawan NU. Apakah membutuhkan cipratan uang ? Jelas sekali jawabannya TIDAK.  

Tags opini

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel